1. Nenek di Pandeglang Hidup dalam Ketidakpastian: Kisah Nenek Salimah dan Anak Disabilitas di Rumah Lapuk
Banten Bicara Nenek di Pandeglang Di tengah geliat pembangunan, masih ada warga yang hidup dalam bayang-bayang kesulitan. Salimah (66), seorang nenek di Kampung Badur, Labuan, Pandeglang, tinggal di rumah yang nyaris roboh bersama putrinya, Salina (30), penyandang disabilitas mental.
Dinding bambu yang sudah berlubang dan tiang rumah yang ditopang kayu tua menjadi pemandangan harian mereka. Saat hujan disertai angin, Salimah hanya bisa berdoa agar atap tak runtuh menimpa mereka.
“Kami hanya bisa pasrah, tidak ada uang untuk perbaikan,” kata Salimah lirih.
Setiap hari, ia mencari buah pinang dan melinjo dari pohon milik warga, bukan untuk dikonsumsi, melainkan dijual demi membeli beras.
2. Potret Kemiskinan di Pandeglang: Nenek Salimah Bertahan Hidup dari Buah Jatuh
Saat sebagian orang mencari penghasilan lewat teknologi, Salimah memilih jalur sunyi: memungut buah jatuh dari kebun warga. Buah pinang dan melinjo yang dikumpulkannya lalu dijual, sekadar untuk membeli satu atau dua liter beras.
Ia hidup di rumah rapuh bersama anaknya, Salina, yang mengalami keterbelakangan mental. Rumah reyot berdinding bambu itu berdiri dengan bantuan kayu-kayu penyangga, menanti waktu untuk roboh jika hujan dan angin datang.
Tetangganya, Husen (73), berkali-kali membawa Salimah ke rumahnya saat cuaca buruk. “Kami sudah mengusulkan bantuan ke pemerintah, tapi belum ada realisasi,” ujar Husen.
3. Suara dari Pinggiran: Rumah Reyot Nenek Salimah Menanti Tangan Pemerintah
Di balik gemerlap pembangunan infrastruktur, suara masyarakat marginal seperti Salimah sering kali tak terdengar. Tinggal di rumah tak layak huni bersama anak disabilitas, Salimah menghadapi ancaman keselamatan setiap hari.
Dinding rumah yang berlubang-lubang harus ditopang agar tidak roboh. Salimah mengandalkan hasil jualan buah pinang yang ia pungut di kebun orang untuk makan sehari-hari.
Warga sekitar berharap pemerintah segera hadir. “Kami hanya ingin rumah yang tidak membuat mereka takut setiap hujan datang,” kata Husen, tetangganya.
Baca Juga: Gaji Pokok dan Tunjangan PPPK Tangsel Baru Cair Tahun Depan
4. Rumah Hancur, Hati Tetap Tegar: Kisah Ketegaran Nenek Salimah di Ujung Usia
Meski raganya renta dan rumahnya nyaris runtuh, semangat hidup Salimah tetap menyala. Di usianya yang ke-66 tahun, ia tak mengeluh meski harus menghidupi anak disabilitas dalam kondisi serba terbatas.
Dengan tangan sendiri, ia memungut buah-buah yang jatuh di kebun orang—bukan mencuri, hanya sekadar bertahan hidup. “Kalau dapat satu kilo, saya bisa beli beras buat kami makan,” tuturnya.
Ia tak berharap banyak, hanya ingin rumah sederhana yang aman bagi anaknya. “Saya hanya takut rumah ini roboh, anak saya bagaimana nanti?”
5. Seruan dari Desa Rancateureup: Jangan Biarkan Nenek Salimah Menunggu Lebih Lama
Rumah Salimah lebih mirip gubuk reot yang menanti runtuh ketimbang tempat tinggal. Salimah dan anaknya Salina, penderita disabilitas, telah puluhan tahun tinggal dalam kondisi memprihatinkan.
Warga sekitar sudah mengajukan bantuan ke pemerintah, tapi belum ada tanggapan. “Tolong, jangan diam. Kisah Salimah adalah cermin buram ketimpangan sosial. Di balik angka-angka statistik dan laporan resmi, masih ada rakyat yang tinggal dalam rumah rapuh, makan dari buah jatuh, dan tidur dalam ketakutan.
6. Nenek di Pandeglang: Ketika Nenek dan Anak Disabilitas Tinggal di Rumah Hampir Roboh
Cerita Salimah dan Salina adalah tamparan keras bagi siapa saja yang mengaku peduli. Di Kampung Badur, mereka tinggal dalam rumah yang sudah tidak layak disebut rumah. Dinding bambu rapuh, tiang-tiang kayu penopang, dan atap yang bocor menjadi “teman” hidup mereka sehari-hari.
Saat hujan, mereka tidak tidur. Mereka berjaga—takut rumah rubuh menimpa mereka.
Warga hanya bisa berharap dan terus menyuarakan, agar pemerintah turun tangan. “Ini bukan soal bantuan lagi, tapi penyelamatan nyawa,” kata Husen.
7. Hidup dalam Ketakutan: Setiap Malam Nenek Salimah Berdoa Rumahnya Tak Roboh
Tak ada yang lebih menyedihkan daripada harus tidur dalam ketakutan. Rumahnya rapuh, dinding bolong, dan atap siap runtuh. Di sisi lain, ia harus merawat anaknya yang tak bisa mandiri.
Ia berjaga—karena tahu rumahnya bisa ambruk kapan saja.
“Apa boleh buat, hidup begini,” ucapnya pelan.
Namun Salimah tetap tegar. Meski hanya dapat satu liter beras dari hasil jual buah pinang, ia tetap berusaha. Karena baginya, anaknya adalah segalanya.